HALONUSA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permintaan legalitas ganja dari orang tua anak pengidap cerebra; palsy atau lumpuh otak sejak dini.
Keputusan tersebut juga mendapat dukungan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Marthinus Hokum yang menyatakan dukungannya terhadap keputusan tersebut.
"Saya melihat berdasarkan pertimbangan medis dan etis tentang larangan ganja ini," katanya seperti dilansir dari Antara.
Menurutnya, dari segi medis pemakaian ganja yang berlebihan akan mempengaruhi saraf manusia. Selain itu dari berbagai penelitian, Marthinus mengungkapkan tidak ada keuntungan secara medis mengenai penggunaan ganja.
Sementara dari segi etis, dirinya mengungkapkan pengaruh ganja sangat luar biasa, sehingga menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya.
"Lalu alasannya apa kalau mau dilegalkan? Tidak ada alasan, baik medis maupun etis," tuturnya.Sebelumnya, MK menolak dalil permohonan yang diajukan Pipit Sri Hartanti dan Supardji atas pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Pipit dan Supardji merupakan orang tua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap cerebral palsy sejak kecil.
Membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 13/PUU-XXII/2024 tersebut, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah di ruang sidang pleno MK, Rabu (20/3), menyebutkan narkotika golongan I (ganja dan turunannya) hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi.
Pasalnya, kata dia, hal tersebut berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan sebagaimana ditegaskan Putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan belum ada bukti pengkajian dan penelitian secara komprehensif (setelah putusan tersebut) atas penggunaan ganja atau zat kanabis untuk pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, MK menegaskan kembali agar pemerintah segera melakukan pengkajian secara khusus mengenai penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia agar isu tersebut dapat segera selesai dan terjawab secara rasional dan ilmiah.
Editor : Halbert Chaniago