"Dahulu, tahu, anak seorang lurah ingin punya pabrik mobil, bagaimana? Anda punya uang? Positifkan saja, masukkan di GBHN. Presiden Suharto sebagai mandataris MPR diwajibkan memajukan mobil nasional, membentuk perusahaan mobil nasional agar Indonesia mandiri," kata Mahfud.
"Itu perintah dari GBHN, jadi suruh sendiri, suruh perintahkan, sesudah itu diteken perpres-nya, mobil nasional diberikan kepada PT ini dengan bebas pajak lokal dan sekian persen pajak luar, pajak dari bahan-bahan luar, jadi enak dong, pasti untung, maksudnya hanya ada untungnya. Itu namanya positivistik instrumentalistik," imbuhnya.
Mahfud menjelaskan bahwa ciri negara yang demokratis sangat berbeda jauh dengan kekhasan pemerintahan otoriter.
Menurut Mahfud, ciri negara demokratis adalah legislatif menjadi penentu dalam membuat perundang-undangan dengan melibatkan aspirasi rakyat, bukan kehendak elite semata.
"Legislatif menjadi penentu. Legislatif itu menentukan. Bukan menentukan, tetapi diam-diam dicokok. Kamu menentukan, tetapi disuruh menentukan. Ini, lo, yang kamu tentukan. Dipesan. Itu tidak demokratis," ujar dia.
Mahfud mengatakan ciri lainnya adalah interpretasi hukum yang dibatasi. Contohnya, dari sisi pemilu diatur sampai hal teknis kampanye."Tafsir implementatif-nya dibatasi. Enggak boleh sembarang kamu tafsirkan hukum. Ini undang-undang sudah berbunyi begini, kamu jangan buat tafsir ngawur," tuturnya.
"Oleh sebab itu, lalu ada cara-cara menafsirkan hukum di dalam ilmu perundang-undangan itu, agar tafsir implementasi hukum itu tidak sewenang-wenang," tutupnya. (*)
Editor : Halbert Chaniago