Djoni juga menekankan pentingnya partisipasi perantau dan masyarakat lainnya dalam proses resettlement. “Pemerintah diharapkan memfasilitasi pembangunan resettlement sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh tokoh adat, kaum, dan suku,” ujar mantan Kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatra Barat ini.
Sementara itu, wartawan senior asal Sumbar, Hendra Makmur mengingatkan kembali tentang pentingnya UU No 24 Tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, yang mencakup beberapa aspek penting: Pencegahan Bencana, Kesiapsiagaan, Peringatan Dini, Mitigasi, Tanggap Darurat, Rehabilitasi, dan Rekonstruksi.
Hendra menekankan bahwa sering kali kita melupakan aspek pencegahan dan mitigasi dalam penanggulangan bencana, padahal kedua hal tersebut sangat penting untuk meminimalisir dampak bencana. "Kita harus fokus pada pencegahan dan mitigasi untuk mengurangi risiko bencana di masa depan," ujarnya.
Doktor tamatan salah satu perguruan tinggi di Jepang, Fadli Irsyad menekankan bahwa resettlement hanyalah solusi insidentil bagi korban galodo. Menurutnya, yang lebih penting adalah fokus pada adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi kejadian serupa di masa depan.
"Galodo bisa berulang setiap 50 atau 100 tahun dan tidak bisa diprediksi kapan akan dimulai," ujar Fadli. Ia juga mencatat bahwa ada jeda waktu sekitar 20-30 menit saat galodo terjadi.
"Jika ada peringatan dini, minimal kita bisa mengurangi korban jiwa," tambah Fadli yang berasal dari Nagari Bukit Batabuah ini.Sementara Zukri Saad mendorong penataan kawasan di sekitar Marapi harus memberi manfaat ekonomi bagi penduduk. Ia mencontohkan, mereka yang tinggal di pinggiran sungai rawan lahar digeser ( ke belakang) atau menjauh dari sungai.
Nah, pinggiran sungai itu kemudian dikelola dengan tumbuhan bernilai ekonomis seperti bambu. “Dan sebaiknya itu kemudian itu milik atau aset nagari dan dikelola oleh Bumdes. Lalu diatur bagaimana skemanya agar semua menikmati hasilnya secara adil,” katanya, aktivis senior asal Sumbar ini.
Banyak lagi pemikiran yang cukup positif dalam penataan kehidupan di sekitar Marapi. Jika disimpulkan, semua sepakat relokasi yang dilakukan harus bersifat internal. Artinya, mereka yang tinggal di kawasan rawan lahar Marapi dipindahkan tak jauh, masih di dalam nagari masing-masing. Sehingga tak jauh dari sawah, ladang, dan ruang hidup dan kebudayaan sosial mereka.
Pokok-pokok Pikiran Brainstorming
Lebih dari 8 jam curahan pikiran, pandang, lalu silang sengketa gagasan para narasumber atau peserta brainstorming, melahirkan pokok-pokok pikiran yang jika diperas menjadi tiga hal yakni, pertama, resettlement pemukiman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Marapi dilakukan dengan Penataan Kawasan Nagari berbasis Mitigasi Bencana.
Editor : Halbert Chaniago