Mengingat masyarakat masih memiliki pilihan hunian selain membeli rumah. Ia menyebut masyarakat masih bisa tinggal bersama orang tua, menempati rumah keluarga, sehingga iuran Tapera seharusnya tidak diwajibkan.
Lebih lanjut, Anton menuturkan potongan tersebut akan mengurangi penghasilan masyarakat. Hal ini tentu memberatkan mereka terutama dalam keadaan perekonomian saat ini.
Meskipun potongan per karyawan relatif terlihat sedikit, misalkan Rp 100-300 ribu. Namun, bila potongan dari seluruh gaji pekerja di Indonesia, maka dana yang terkumpul bisa sangat besar hingga triliunan.
"Dengan permasalahan yang ada soal tumpang tindih sama manfaat BPJS, lalu juga asas keadilan terhadap pegawai swasta dan pekerjaan mandiri. Menurut saya ini akan menjadi berat apalagi kondisi ekonomi belum benar-benar pulih, tapi potongan wajib nambah," imbuhnya.
Terpisah, Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani dalam keterangannya menyampaikan APINDO sudah secara tegas menolak sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 2016."APINDO telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh," ucap Shinta dalam keterangan resminya.
Kemudian, APINDO menilai pemerintah lebih baik mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan PP maksimal 30% (Rp 138 triliun), aset JHT yang memilih total Rp 460 triliun bisa digunakan untuk program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia pun sangat besar, namun sangat sedikit pemanfaatannya. (*)
Editor : Halbert Chaniago